Short Story - Ken
Story by Ceyolit
Kenda Dopa atau yang akrab disapa Ken adalah putra pertama kami. Kini, usianya memasuki 5 tahun. Aku dan Mas Reza sangat antusias melihat semua perkembangan Ken, kami bahkan mencatat dan mendokumentasikannya. Kapan Ken mulai bisa berbalik, merangkak, berjalan, berlari hingga terjatuh saat ingin menaiki skuter.
Namun, apa kalian tahu? Saat ini Ken sakit.
Dia tidak dapat ke sekolah seperti biasanya. Dia harus bertemu dokter, dan dia … memerlukan alat medis untuk membantunya bernapas. Aku masih tidak menyangka bahwa keadaan Ken yang butuh perawatan adalah kenyataan yang sesungguhnya terjadi.
“Hanin?” Panggilan Mas memecah bayanganku. Aku melihat Mas dengan tatapan kosong. Tidak ada raut kebahagiaan dari mata sembabku yang selama dua hari ini belum tertidur. Mas sudah berulang kali memintaku untuk istirahat, tapi aku tidak bisa. Bayangkan, bagaimana mungkin aku meninggalkan Ken sendirian di dalam ruangan yang hanya berisi alat medis itu? Ken bisa saja terbangun dan menangis.
“Jika kamu memang tidak ingin pulang dan beristirahat. Tidurlah sebentar disamping Mas, kamu membuat Mas khawatir.” Aku hanya tersenyum tipis dan menyandarkan kepalaku pada Mas. Aku tahu Mas khawatir padaku, tapi Ken … ia masih sangat kecil dan lemah. Ken butuh aku, ibunya, untuk mendampingi dia melalui semua ini.
“Mas?” Aku berbicara pada Mas walau dengan mata tertutup. Aku yakin saat ini Mas sedang melihatku dan ruangan Ken bergantian.
“Apa Ken akan baik-baik saja? Kita bahkan tidak tahu jenis penyakit apa yang menyerang tubuh Ken. Seberapa parahkah itu, seberapa besar kemungkinan Ken dapat bertahan dan sembuh. Kita tidak tahu Mas.” Air mataku tak berhenti mengalir. Mas memelukku erat dan diam beberapa lama. Aku tahu, Mas memberikan kesempatan bagiku untuk meluapkan apa yang kurasa. Kesempatanku untuk menangis, tepatnya.
“Hanin … Mas yakin bahwa Ken adalah anak yang kuat. Dia pasti bisa sembuh.” Aku berusaha mempercayai kata-kata Mas, meski hati ini takut. Takut tidak bisa melihat Ken lagi, takut kehilangan Ken … dan takut jika aku tidak mampu menjadi ibu yang baik baginya.
----------------
“Permisi, dengan orang tua pasien Kenda Dopa?” Panggilan perawat itu membuat kami mengalihkan pandangan dari Ken. Hasil tes laboratorium mengenai kondisi Ken sudah keluar. Apa yang sebenarnya terjadi dan penyakit apa yang menyerang Ken akan segera kami ketahui. Aku menarik napas panjang dan menggenggam erat tangan Mas. Berharap bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi.
“Selamat sore.” Sapaan dokter yang masuk membuat jantungku mulai tak karuan. Genggaman tangan aku dan Mas semakin kuat. Jujur, lebih baik aku tidak mendengar semuanya karena aku terlalu takut. Namun Mas … aku tidak mungkin membebankan semuanya pada Mas. Kami harus menghadapi ini bersama, demi Ken.
“Iya, sore Dok. Bagaimana dengan hasil tes anak kami?”
“Jadi, seperti ini Pak, Bu.” Dokter itu mulai membuka lembaran-lembaran hasil tes yang dijalani Ken dan memperlihatkannya pada kami. Satu hal yang secara pasti dapat kusimpulkan sendiri adalah kondisi paru-paru Ken yang sudah berbeda.
“Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pasien Kenda positif IPF (Idiopathic Pulmonary Fibrosis), dimana terjadi penebalan pada dinding paru-paru Kenda, sehingga proses pernapasannya akan sangat terganggu. Hanya ada satu hingga dua pasien yang menderita IPF setiap tahunnya. Penyebab dari penyakit ini sendiri juga masih belum dapat diketahui secara pasti.” Astagfirullah. Idiopathic Pulmonary Fibrosis? Seketika tubuhku langsung tidak bertenaga. Jantungku sudah tak tahu bagaimana cara mengontrol detakannya. Sebagai seorang apoteker, aku mengerti bahwa fibrosis paru merupakan penyakit progresif yang tidak dapat disembuhkan begitu saja. Bahkan penggunaan obat-obatan secara rutin hanya mampu menghentikan perburukan, bukan memperbaiki fungsi paru-parunya.
“Saat ini, pengobatan untuk pasien IPF di Indonesia berada dalam tahap pengembangan dan sangat terbatas. Sedangkan, pasien dengan IPF seperti Kenda, membutuhkan perawatan intensif dan tindakan segera. Maka dari itu, kami merekomendasikan Kenda agar dapat ditransfer ke rumah sakit di negara tetangga kita. Bisa Malaysia maupun Singapura. Kami akan menghubungi pihak rumah sakit mana yang dapat dengan segera memberikan perawatan terbaik untuk Kenda. Namun sebelumnya, kami butuh persetujuan orang tua pasien mengenai keputusan pemindahan tersebut.” Aku tertegun. Transfer rumah sakit? Apalagi ini?
“Dokter, apa diantara seluruh rumah sakit di Indonesia ini benar-benar tidak ada yang dapat memberikan perawatan lengkap untuk pasien IPF?”
“Kami mohon maaf Pak. Untuk IPF sendiri, perawatannya masih sangat terbatas. Disini kami hanya bisa memberikan obat-obatan yang dapat membantu pasien. Namun, untuk kesembuhannya sendiri akan jauh lebih kecil jika tidak dilakukan tindakan apapun pada pasien.” Apa? Tindakan? Setahuku dalam dunia medis tindakan berarti pembedahan.
“Maksud Dokter tindakan apa? Operasi?” Tanyaku langsung.
“Iya, Bu. Pasien IPF memerlukan donor paru, termasuk Kenda, karena kita tidak pernah tahu berapa lama paru-parunya masih dapat bertahan. Semakin cepat Kenda mendapatkan donor paru, akan semakin baik.” Astagfirullah. Kali ini jantungku tak terasa berdetak lagi. Benar-benar berhenti. Aku tidak mampu mengeluarkan satu kata pun.
“Jika itu jalan satu-satunya, maka kami setuju Dok. Berkas apa yang harus kami siapkan?” Jawaban Mas yang tiba-tiba cukup membuatku terkejut. Aku menatap Mas serius hingga ia memberikan tanda dengan menggenggam erat tanganku.
“Baik Pak, Bu. Administrasinya akan segera di proses. Silahkan Bapak dan Ibu sebagai orang tua pasien atas nama Kenda Dopa menandatangani persetujuan ini terlebih dahulu.” Setelah pembicaraan batin kami, aku memutuskan untuk mengikuti jawaban Mas. Jika masih ada yang dapat dilakukan untuk Ken, maka kami akan berusaha semaksimal mungkin. Walaupun, ada perasaan khawatir dalam diriku. Ditambah lagi proses pemindahan Ken dilakukan ke rumah sakit di negara lain. Harapan terbesarku dari keputusan ini adalah semoga Ken bisa mendapat perawatan dan tindakan yang terbaik.
----------------
Aku baru kembali dari musala dan melihat Mas, Papa dan Mama sedang berdiri menghadap ke ruangan Ken. Ada banyak perawat dan dokter yang menuju kesana.
“Kenapa Mas?” Aku mengguncang tubuh Mas dan melihat ke ruangan Ken. Alat yang ada disana berbunyi cukup keras hingga terdengar keluar. Apa yang terjadi dengan Ken?
“Tenang Nin, tenang.” Mas memelukku dan terus melihat ke ruangan Ken. Aku tidak bisa tenang begini. Ada apa sebenarnya?
“Kenapa Mas? Apa yang terjadi pada Ken?!” Nadaku sedikit naik. Mama berbalik dan memelukku. Aku tak tahu mengapa aku ikut menangis melihat air mata Mama.
“Ken … mengalami reaksi tertentu beberapa menit setelah pemberian obatnya. Mama juga tidak tahu pasti tapi dokter sedang berusaha.” Apa? Reaksi? Setelah pemberian obat? Mungkinkah shock anafilaksis? Aku langsung menyandarkan tanganku ke kaca ruangan Ken dan melihat keadaannya. Jika benar Ken mengalami reaksi anafilaksis, maka itu sangat berbahaya. Apalagi dengan kondisi parunya yang sekarang. Bagaimana ini? Bertahanlah Ken, Mama mohon. Berselang 2 menit, aku melihat layar monitor Ken hitam. Tak ada tampilan apapun lagi. Situasi macam apa ini? Seorang dokter tiba-tiba keluar dari ruangan itu dan menghampiri kami.
“Apa yang terjadi pada Ken Dok?” Pertanyaanku diikuti dengan berbagai pertanyaan lain dari Mas, Papa dan Mama.
“Mohon maaf Pak, Bu.” Dokter itu menghentikan ucapannya.
“Tim dokter dan perawat sudah berusaha, tapi tiba-tiba terjadi reaksi …” Aku melihat Mas langsung maju dan melepaskan pukulan ke wajah Dokter itu. Astagfirullah.
“Mas!” Teriakku.
“Sekali lagi, saya mohon maaf Pak, Bu. Kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong pasien, namun tetap Tuhan yang menentukan.”
“Tapi kalian seharusnya bisa berbuat sesuatu! Kalian dokter kan?” Aku sudah berusaha menenangkan Mas, tapi tak bisa.
“Iya Pak. Kami sudah berusaha semampu kami untuk menolong pasien. Namun, ia mengalami reaksi anafilaksis setelah pemberian obatnya.”
“Jadi, kalian ingin menyalahkan obat? Memang kalian yang tidak kompeten kenapa menyalahkan obatnya!” Mas memotong perkataan dokter itu dengan nada tingginya.
“Mas … apa pantas kamu berbicara seperti itu? Ken …. Sebaiknya kita masuk dan melihat Ken!” Aku tidak sanggup melihat Mas terus membentak dokter itu. Ini bukan salah dokter maupun obatnya. Ini adalah takdir yang telah digariskan.
Ken … tergeletak lemah tak berdaya diatas tempat tidur itu. Dia bukan tak sadarkan diri. Tapi ken sudah pergi. Meninggalkan kami. Meninggalkan aku dan Mas hanya berdua. Tidak akan ada lagi suara kecil Ken yang memanggilku Mama.
“Ken.” Aku memeluk anakku sekuat yang kubisa. Ya Allah, mengapa harus Ken? Dari belakang aku merasa Mas ikut memelukku dan Ken. Keluarga kami yang sudah sempurna. Keluarga kami yang berbahagia. Mengapa jadi seperti ini?
----------------
“Mas ….” Aku menangis dan kembali memeluk Mas setelah pulang dari pemakaman Ken. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang menimpaku disiang hari.
“Hanin … tenanglah. Kita pasti bisa melalui ini semua.” Mas berusaha sekuat mungkin menenangkanku, tapi aku tak sanggup mengontrol tangisanku sendiri.
“Aku ke toilet dulu Mas.” Langsung saja aku mengunci pintu dan menghidupkan shower untuk meredam suara tangisanku agar tak sampai terdengar keluar.
Ya Allah.
Sebenarnya apa salah kami?
Apa salah keluarga ini?
Apa salahku?
Mungkin jika aku yang sakit, aku masih bisa bertahan.
Mungkin jika Mas yang sakit, kami bisa menguatkan.
Tapi ini?
Anak berusia 5 tahun yang bahkan belum mengenal dunia.
Mengapa Engkau titipkan jika akan Engkau ambil secepat ini.
“Hanin?” Seseorang mengetuk-ngetuk pintu toilet, sepertinya itu Mas. Aku berusaha bangkit dari lantai meski dalam keadaan basah. Setidaknya aku masih harus bertahan dengan semua cobaan ini, demi Mas. Tiba-tiba saja kakiku melangkah tak seimbang, punggungku terjatuh ke lantai dan pandanganku menjadi hitam.
----------------
“Hanin...” Aku melihat Mas berada disampingku dan langsung memberikan pelukan hangatnya. Detakan jantung Mas cukup kencang hingga aku juga dapat merasakan itu.
“Maafkan aku Mas.” Aku terisak dalam pelukannya.
“Hanin … dengarkan Mas.” Mas menghapus air mataku dengan tangan lembutnya.
“Ken adalah titipan Allah pada kita dan kita tidak memiliki hak apapun untuk menuntut lebih. Kita harus bersyukur Ken pernah mewarnai hidup kita. Semua yang terbaik sudah kita lakukan, demi Ken. Sekarang titipan itu diambil kembali oleh Allah, yang berarti kita harus ikhlas. Kita tidak sepatutnya menyesali keadaan. Ken sudah tidak ada, kita sudah mengantarkan Ken ke tempat terakhirnya pagi tadi. Sekarang kita harus ikhlas Hanin. Mas dan kamu, kita harus saling mendukung untuk melanjutkan petualangan hidup kita. Mas tidak ingin kehilangan kamu juga.” Mas menatapku penuh makna.
“Dan … Mas minta tolong padamu Hanin. Jangan buat Mas terkena serangan jantung. Mas sayang padamu, juga pada Ken. Tapi sekarang Ken sudah tidak ada. Jika kamu juga tidak ada, bagaimana Mas bisa bertahan?” Kali ini Mas menundukkan kepalanya ditanganku. Aku merasa Mas menangis, ia tak pernah menangis sebelumnya, bahkan pagi tadi pun tidak.
Namun aku … aku telah membuatnya menangis.
Maafkan aku Mas.
Sungguh, aku berjanji tidak akan membuat Mas khawatir lagi.
Demi Ken, dan demi kita.
Comments
Post a Comment